Peace Journalism: Bangun Perdamaian Melalui Media

December 05, 2020

Siapa sih yang nggak tau kalau Indonesia adalah negara yang memiliki berbagai jenis etnis, suku, budaya, dan agama yang disatukan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika?

Tapi kamu tahu nggak sih? Tidak hanya menjadi kebanggaan tersendiri bagi bangsa ini tapi juga merupakan sebuah ancaman terpendam pemicu konflik, salah satunya  karena ada perbedaaan pemikiran di tiap tiap individu maupun kelompok.

Dalam waktu dekat ini, Indonesia akan melaksanakan Pilkada serentak di tanggal 9 Desember 2020. Tak jauh beda dengan tahun-tahun politik sebelumnya, di tahun 2020 juga masih sering dijumpai perang medsos yang memancing emosi.

Namun, hal ini sudah bukan sesuatu yang asing bagi masyarakat Indonesia, karena ditahun tahun politik sebelumnya, bahkan para elit politiknya saja banyak yang melontakan berbagai diksi yang sudah sangat akrab kita dengar, mulai dari istilah cebong kampret, politik gendruwo, ada sontoloyo boyolali dan masih banyak kampanye nyinyir lainnya.

Apa yang tampil dimedia sosial, media cetak dan dilayar kaca televisi menjadi warna tersendiri ditahun-tahun politik di Indonesia. Banyaknya kepentingan dari pemilik media itu sendiri, sehingga sangat mudah diterima tanpa dicerna dengan baik oleh masyarakat. Jadi, nggak herankan kalau banyak konflik bertebaraan dimedia sosial. 

Selain karena terlalu fanatik kepada salah satu paslon yang diidolakan, adanya pola pikir yang tidak dapat menerima perbedaan menjadi salah satu faktor maraknya berita hoax di media sosial yang menyebabkan kebencian dan fitnah yang dilakukan oleh oknum-oktum tertentu. Belum lagi jika ditambah dengan statement antar kandidat di acara-acara debat paslon, bukannya mengedukasi, tapi masalah saling serang dan sindir sehingga tidak meredam emosi para pendukungnya tapi malah mengeskalasi konflik yang ada.

Disetiap kontestasi politik, pasti ada konflik yang seakan layak untuk diberitakan dan disebar luaskan, entah melalui media online, media cetak, maupun media elektronik, saling mencari dan membuka aib dianggap sebagai alat untuk menjatuhkan lawan politiknya. 

Dan mirisnya, banyak media massa yang seharusnya memberikan informasi yang transparan dan netral justru berlomba-lomba memberitakan konflik yang ada, bahkan tak jarang ada media yang di kuasai sebagai alat untuk berkampaye. Sehingga, media yang seharusnya memberitakan kebenaran justru malah memainkan isi berita.

Melihat fenomena yang sering terjadi di Indonesia, sangat perlu diterapkannya prinsip peace journalism/ jurnalisme damai.

Apa Peace Journalism?

Istilah peace journalism, berawal ketika Johan Galtung dan Mari Ruge menganalisis apa yang membuat berita asing layak diberitakan. Kemudian dikembangkan lagi, sehingga muncul gagasan bahwa peace journalism (jurnalisme damai) bertentangan dengan war journalism (jurnalisme perang) yang berfokus pada kemenangan adalah segalanya, sebagaimana zero-sum game, dimana narasi "us" vs "them" adalah bingkai yang dominan. (Lynch & McGoldrick, 2005)

Situasi tersebut seolah-olah kemenangan terletak pada dominasi satu pihak, berorientasi pada elit, mengorbankan orang-orang yang terlibat langsung dalam konflik. Hingga akhirnya war journalism lebih mendekati propaganda karena memberitakan kebohongan "pihak lain", dan lebih menutup nutupi kebohongan "miliknya". (Lynch & McGoldrick, dalam Michelis, 2018).

Tabel Peace - War Journalism (Sumber: Johan Galtung, 1998 dalam Fransius, 2013)

Nah, dari tabel diatas kita bisa tahu perbedaan peace - war journalism. 

Dengan adanya media sosial dan luasnya akses internet yang banyak membuat individu mampu menyebarkan informasi, maka media pun harus mampu menyajikan pemberitaan yang layak dikonsumsi publik secara apa adanya.

Dari setiap sisi objektif dan berbagai sudut pandang. Tidak berpihak, tidak menutup-nutupi dan tidak melakukan propaganda tapi membuka dari semua sisi. Hal ini tentunya untuk meredam konflik yang ada. Lebih berfokus pada masyarakat, bukan pada kemenangan atau kekalahan semata.

Intinya, bagaimana caranya media harus berperan menceritakan peristiwa yang mengarah pada perdamaian. Berperan dalam peace building dan memiliki ideologi kedamaian. Sehingga dalam hal ini dia juga berperan membangun perdamaian agar masyarakat yang mengkonsumsi berita tidak terprovokasi.

Untuk kamu yang terkadang menemukan berita yang bersifat propaganda, jangan mudah terpancing ya temans. Demi Indonesia yang damai, kendalikan emosi dan jarimu, lebih baik diam dari pada turut aksi dalam ketidak benaran. 

Terima kasih telah memberikan sedikit waktumu untuk membaca, semoga bermanfaat.

Referensi

Fransius, M. P. (2013). Peace Journalism - A New Paradigm for Reporters. Retrieved from Peace is Sexy: Powerful Communications Strategies: https://www.peaceissexy.net/peace-journalism-a-new-paradigm-for-reporters/

Lynch, J., & McGoldrick. (2005). Peace Journalism. Stroud, UK: Hawthorn Press.

Michelis, S. D. (2018, Desember 23). Peace Journalism in Theory and Practice. Retrieved from E-International Relations: https://www.e-ir.info/2018/12/23/peace-journalism-in-theory-and-practice/

 

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Followers

Blogger Perempuan