Pertama datang ke Pulau Cipir, aku melihat pasirnya yang putih dan jernihnya air laut disana, tetapi saat mulai masuk kedalam pulau, aku langsung bisa melihat bekar-bekas rumah sakit karantina haji pada masa kolonial Belanda, dimana banyak orang yang dahulunya disuntik mati di pulau ini.
Pada jaman Kolonial Belanda, rumah sakit di Pulau Cipir berfungsi untuk karantina penyakit menular, alih-alih untuk disembuhkan, tetapi para penderita penyakit menular ini justru tidak pernah sembuh dan hanya dipisahkan dari yang lain agar tidak menyebarkan penyakit.
Hari semakin sore, setelah capek mengelilingi Pulau Kelor dan Pulau Onrust, aku tetap berusaha melangkahkan kaki menyusuri Pulau Cipir dan melihat-lihat sisa-sisa bangunan rumah sakit disana.
Tampak Depan RS Karantina Haji |
Sisa-sisa bangunan RS |
Tidak banyak orang yang melihat-lihat kedalam bekas bangunan rumah sakit, karena kebanyakan dari mereka hanya bermain dipinggir pantai atau bersantai diwarung-warung kecil untuk makan siang.
Ada beberapa kelompok pemuda yang mendirikan tenda di pinggir pantai, sepertinya mereka akan menginap di Pulau Cipir. Berbeda dengan di Pulau Kelor dan Pulau Onrust, di pulau ini kamu bisa menemukan air tawar di kamar mandi umum yang disediakan. Jadi nggak heran kalau banyak pengunjung yang menginap di sini. Karena ketersediaan air bersih dapat menunjang kegiatan mereka disana.
Setelah mengambil beberapa foto, aku segera kembali dikeramaian. Meskipun suasananya tidak semenyeramkan Pulau Onrust, tapi karena kondisi memang sudah capek dan sepi di area sisa-sisa bangunannya, jadi aku nggak mau sendirian hehe.
Okay, sekian ceritaku di Pulau Cipir yang ceritanya nggak sebanyak di Pulau Kelor dan Onrust, karena memang ini adalah pulau tujuan terakhir jadi aku lebih banyak bersantai dan menikmati pemandangan laut di Pulau Cipir. So, bye bye...