Ahimsa Gerakan Anti Kekerasan demi Wujudkan Perdamaian Lewat Sosial Media
February 06, 2021Indonesia adalah negara kepulauan, yang memiliki wilayah darat dan laut yang luas. Sehingga keanekaragaman menjadi ciri khas bangsa ini. Mulai dari kekayaan budaya, suku dan agama dapat kamu temukan di Indonesia. Karakter heterogen inilah yang membuat Indonesia menjadi rentan terhadap adanya konflik sosial akibat adanya berbagai macam perbedaan. Ada yang mampu menerima satu sama lain, adanya juga yang tidak mampu menerima keberagaman tersebut.
Perbedaan dalam Bingkai Perdamaian (Sumber: Pribadi) |
Pada era sekarang, perkembangan konflik menjadi begitu kompleks karena adanya perkembangan teknologi yang membuat persebaran informasi menjadi tak terkendali dan dapat dengan mudah dikonsumsi oleh masyarakat.
Berbagai kericuhan sering terjadi berawal dari sosial media yang akibatnya berujung kekerasan. Hal ini terjadi karena banyaknya berita hoax dan masyarakat pun mudah terprovokasi tanpa mencari tahu kebenaran.
Contoh Kasus Konflik Pilkada DKI 2017
Apakah teman-teman masih ingat dengan isu SARA yang mewarnai berlangsungnya Pilkada DKI? Menguatnya isu SARA dalam ajang kontestasi politik tersebut tak lepas dari pengaruh kuat media sosial, loh. Sehingga eskalasi konflik semakin meningkat dan meluas.
Kali ini aku bakal coba jelasin Konflik Pilkada DKI menggunakan Teori Dynamic Framework dengan 5 komponen utama.
Kerangka Dinamis Pencegahan dan Resolusi Konflik (Sumber: Malik, 2017) |
Berawal dari kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh Ahok di Kepulauan Seribu terkait Surat Al Maidah, yang dianggap mengandung penistaan agama. Indonesia dengan mayoritas penduduk Islam, dengan dibumbui campur tangan para pemilik kepentingan politik didalamnya, mengakibatkan munculnya konflik identitas antara kelompok BTP-Djarot dan kelompok Anies-Sandi. Konflik ini berjalan cukup lama, mengingat banyak pendukung dari masing-masing pihak saling menyerang, melalui sosial media.
Komponen kedua disebut faktor konflik. Yang terdapat 3 elemen: 1) elemen pemicu konflik, 2) elemen akselerator konflik, 3) elemen akar konflik. (Malik, 2017).
Elemen pemicu konflik pada Pilkada DKI Jakarta ada dipicu dari sosialisasi Ahok di kepulauan Seribu, tentang Surat Al-Maidah ayat 51, yang digunakan oleh kubu lawan untuk menyerang Ahok dikontestasi pemilu. Sehingga banyak dari beberapa kelompok yang tersulut emosi dan melakukan aksi-aksi atas tindakan Ahok.
Kedua adalah elemen akselerator konflik, setelah munculnya video Ahok di Kepulauan Seribu otomatis langsung muncul banyak reaksi akibat dari sosialisasi Ahok pada saat itu, muncul aksi seperti 411, 212, 121, yang menuntut agar Ahok mundur dari pencalonan dan dihukum. Hal ini yang menyebabkan adanya serangan balik pihak Ahok kepada lawan. Meskipun sudah melawan, namun tetap banyak pihak yang menuntut.
Ketiga adalah elemen akar konflik, adalah sumber konflik yang paling mendasar yaitu adanya diskriminasi seperti agama dan suku. Mengingat bahwa Ahok adalah etnis Tionghoa dan merupakan non Muslim sehingga dianggap haram hukumnya memilih pemimpin kafir.
"Kita menolak pemimpin kafir. Hal ini sudah termuat dalam Alquran. Ini bukan masalah SARA", Jubir HTI, Muhammad Ismail Yusanto (Ikhsanudin, 2016)
Sumber: nahimunkar.com |
Komponen ketiga adalah aktor konflik, dimana yang pertama adalah actor provocator, yaitu aktor-aktor utama yang terlibat konflik Pilkada DKI Jakarta yaitu pihak dari lawan Ahok, guna untuk menjatuhkan Ahok, salah satunya yaitu Rizieq Shihab tokoh FPI, yang selama ini menentang Ahok, merasa mendapatkan momentum emas terkait video yang beredar.
Kedua kelompok rentan, biasanya dipelopori oleh santri-santri yang mendukung pemimpinnya, yaitu mendukung Rizieq Shihab, karena memang seorang ustad tidak lepas dari dukungan santri-santrinya.
Dan yang ketiga adalah kelompok fungsional, dimana polisi berperan mengamankan aksi-aksi yang dilakukan masyarakat di monas saat itu, dan pemerintah sebagai fasilitator penyelesaian konflik, yang diharapkan dapat memberi kontribusi, kerjasama, dan saling koordinasi untuk mencegah dan menghentikan konflik jika sudah terjadi. (Malik, 2017).
Komponen ke empat adalah pemangku kepentingan atau stakeholders, kelompok ini biasanya diisi oleh tokoh masyarakat, tokoh agama, peneliti, LSM dan media massa untuk membantu mencegah dan menghentikan konflik. Misal media massa berperan sebagai peace journalism, artinya mereka harus menyajikan berita yang sesungguhnya kepada masyarakat tanpa berpihak pada pihak manapun
Komponen terakhir yaitu kemauan politik penguasa, yaitu dilihat dari inisiatif pemimpin dalam menyelesaikan konflik. Seperti langkah yang diambil oleh pengadilan, dimana sosialisasi Ahok di Kepulauan Seribu terkait Surat Al-Maidah ayat 51 merupakan penistaan agama dan dianggap bersalah dan dihukum dua tahun penjara.
Dari contoh tersebut, teman-teman pasti tahu bahwa akar konflik dari Pilkada DKI 2017 adalah adanya diskriminasi agama dan suku yang menyebabkan beberapa kelompok yang tidak berkenan jika kedepannya ada pemimpin dari minoritas yang terpilih, sehingga menjadi sasaran lawan untuk memanfaatkan kekuatan dari orang-orang yang cenderung fanatik. Ditambah isu reklamasi penggusuran yang dilakukan Ahok yang semakin mempertajam konflik kultural yang dituju padanya.
Selanjutnya didukung dengan video sosialisasi di Kepulauan Seribu yang semakin mengeskalasi konflik hal ini dapat dilihat dari hilangnya empati masyarakat dan menguatnya prasangka dan penolakan, padahal diputaran pertama Ahok dan pasangan mendapatkan suara tertinggi.
Meskipun sudah melakukan serangan balik kepada pihak Anies-Sandi seperti tuduhan poligami, korupsi tunjangan profesi guru, dan tuduhan aktif pada Jaringan Islam Liberal, nyatanya masih banyak pihak yang menuntut sehingga menyebabkan kehancuran dan tidak ada harapan lagi bagi kubu Ahok, dan konflik berakhir ketika Ahok dijatuhi hukuman pidana.
Jadi, sebagai generasi milinial langkah apa yang paling tepat kita lakukan? Terlebih dalam waktu dekat ini Indonesia akan menghadapi Pilpres 2024. Dimana setiap warnanegara yang sudah memenuhi syarat sesuai hukum dapat secara bebas memilih pemimpin pilihannya.
Namanya kontestasi politik pasti banyak kelompok yang saling serang, demi mengalahkan lawan dan memperoleh panggung politiknya.
Namun, jangan sampai kamu terlibat dalam kelompok kebencian, dengan menyebarkan berita hoax, melakukan provokasi dan mudah diprovokasi yang akhirnya dapat berujung konflik kekerasan yang mempu memecah belah bangsa.
Ahimsa Gerakan Anti Kekerasan
Menyelesaikan konflik memang tidak mudah, banyak langkah yang harus dilalui, perlu metode tepat yang harus dipilih dan butuh waktu. Oleh karena itu mencegah adalah upaya yang harus diutamakan.
Karena jika kita terlibat dalam konflik kekerasan, tentu kita pasti mendapatkan kerugian, karena kekerasan seringkali tidak memperdulikan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam buku Pedoman Pemilu Berkualitas: Perspektif Hindu, Wirayasa mengutarakan pemikiran Mahatma Ghandi yang berasaskan kedamaian mampu menggerakan massa atas kesadarannya sendiri melalui Ahimsa (Gerakan Tanpa Kekerasan). Dimana Ahimsa ini dapat dilakukan dengan kekuatan diri. Kekuatan ini mengajarkan kita bahwa gerakan sosial tidak semata-mata mengarah pada aksi-aksi protes, tapi gerakan anti kekerasan adalah metode pasif untuk merespons peyimpangan dan merupakan sebuah strategi untuk melakukan perubahan sosial.
Gerakan anti kekerasan Ahimsa dalam konteks bermedia sosial dapat kita lakukan dengan mudah loh. Misalnya, teman-teman tidak melakukan kekerasan verbal saat bermedia sosial. Kekerasan verbal dapat dihindari dengan cara tidak memberikan komentar jahat yang mengandung SARA, adu domba, fitnah, propaganda, ujaran kebencian dan lain sebagainya. Dengan harapan tidak muncul keributan yang mengakibatakan konflik kekerasan yang mengancam keamanan.
Sumber: Pribadi |
Tidak satupun agama yang mengajarkan kekerasan, sehingga jika ada individu atau suatu kelompok yang melakukan kekerasan, tak seharusnya dia membawa agama yang dia anut. Karena pada hakikatnya setiap agama diajarkan untuk memuliakan umat, bukan menghilangkan hak asasi manusia.
Sebagaimana Islam mengajarkan Rahmatan Lil-Alamin yang artinya rahmat bagi manusia dan alam semesta. Kristen mengajarkan bahwa Yesus Kristus adalah juru selamat. Hindu mengajarkan Ahimsa Anti Kekerasan dan Buddha mengajarkan Theravada yang artinya keselamatan bagi manusia. (Malik, 2017)
Oleh karena itu perlu adanya upaya komprehensif agar tidak melakukan perbandingan-perbandingan terkait nilai-nilai agama A dengan agama B, C ataupun D. Cukup kita hidup berdampingan dan saling #MeyakiniMenghargai satu sama lain. Karena dengan membanding-bandingkan dapat menjadi trigger dan accelerator bagi permusuhan antarumat beragama yang memicu munculnya konflik kekerasan.
Nah, mungkin jika ada teman-teman yang memiliki kemampuan menulis, bisa mulai mengampanyekan gerakan anti kekerasan lewatan tulisan. Karena peran yang kita mainkan, sedikit banyak akan memberikan pengaruh bagi para pembaca. Yuk, berikan pengaruh positif dengan melakukan hal-hal yang baik.
Terima kasih telah memberikan waktumu untuk membaca, semoga bermanfaat. Stay safe!
Referensi
Ikhsanudin, A. (2016, 09 04). Seribuan Massa Gelar
Aksi Tolak Ahok di Bundaran Patung Kuda. Retrieved from detikNews:
https://news.detik.com/berita/d-3290594/seribuan-massa-gelar-aksi-tolak-ahok-di-bundaran-patung-kuda
Malik, I. (2017). Resolusi Konflik Jembatan Perdamaian. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Wirayasa, I. M. (n.d.). Pedoman Pemilu Berkualitas: Perspektif Hindu. Jakarta: Badan Pengawas Pemilu RI.
1 comments
Setuju banget. Nggak ada satupun agama yang mengajarkan kekerasaan.
ReplyDelete